Minggu, 07 Desember 2014

KESIMPULAN DARI HASIL SIMPOSIUM DI VANUATU: TIGA FAKSI BESAR BERSATU DI BADAN NASIONAL ULMWP UNTUK WEST PAPUA


Ini Hasil Simposium di Vanuatu; Tiga Faksi Besar Bersatu di Badan Nasional ULMWP

Ini Hasil Simposium di Vanuatu; Tiga Faksi Besar Bersatu di Badan Nasional ULMWP
Sejumlah pemimpin politik rakyat Papua Barat berfoto usai deklarasi Saralana (Foto: Ist)
VANUATU, SUARAPAPUA.com --- Hasil simposium di Saralana, Port Villa, Vanuatu, telah melahirkan sebuah badan politik nasional yang dinamakan Unitied Liberation Movement for West Papua (ULMWP), atau dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat.

Sebby Sambom, salah satu aktivis Papua Merdeka yang ikut dalam simposium ini menegaskan, semua pimpinan politik juga bersepakat untuk mendeklarasikan sebuah kesepakatan bersama yang disebut dengan “Saralana Declaration on West Papua 2014”.

Deklarasi tersebut ditandatangani oleh Dr. Rex Rumakiek dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Edison Waromi dari perwakilan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), dan Bucthar Tabuni dari Parlemen Nasional West Papua(PNWP).

Simposium ini juga secara demokrasi memilih lima orang pemimpin untuk menjalankan ULMWP, yakni, Octovianus Mote sebaga Sekertaris Jenderal, Benny Wenda sebagai Juru Bicara, dan tiga orang anggota, yakni, Jacob Rumbiak, Rex Rumakiek, dan Leonie Tanggahma.

“Walau terjadi diskusi yang panjang, namun kami telah sepakat untuk membentuk ULMWP. Badan ini lahir setelah pertemuaan yang digelar kurang lebih enam hari lamanya,” kata Sambom.

Menurut Sebby, semua pimpinan faksi politik di Papua Barat memandang langkah persatuan dinilai sangat penting, karena hal ini dirasa sebagai jalan untuk menyelamatkan rakyat Papua Barat yang mengalami kepunahan.

“Kita penting untuk bersatu karena pemerintah Vanuatu sejak tahun 1980 sampai sekarang masih tetap memberikan dukungan penuh bagi Bangsa Papua Melanesia, dimana mereka mempertaruhkan harga diri Bangsa dan Rakyat Vanuatu bagi saudara-saudari mereka di Papua Barat,” kata Sebby.

Menurut Sebby, apapun keputusan yang telah disepakati oleh semua pemimpin Papua Barat, harus diterima dan dapat dilaksanakan, karena kesepakatan tersebut dihasilkan atas campur tangan Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Papua Barat dari tangan penjajahan Indonesia.

“Fungsi badan nasional dibentuk untuk melakukan diplomasi di tingkat Internasional, termasuk akan menyusun verifikasi aplikasi keanggotaan Melanesia Spearhead Group bagi Papua Barat,” kata Sebby.

Kata Sebby, kelima orang ini juga akan memikirkan langkah panjang, yakni, memperjuangkan persoalan Papua ke Pasific Island Forum (PIF), dan Komisi Dekolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barack Sope, Perdana Menteri Vanuatu, Joe Natuman, dan sejumlah tokoh adat masyarakat Vanuatu ikut menyaksikan penandatangan deklarasi Saralana, yang juga disaksikan seluruh peserta simposium.

Akhir penandatanganan deklarasi ini digelar upacara adat yang dipimpin langsung oleh Presiden Dewan Adat Vanuatu, dimana bersyukur karena tiga kelompok perjuangan Papua Barat dapat disatukan oleh saudara-saudari Melanesia dari Vanuatu, pada 6 Desember 2014, sekitar pukul 15:30 waktu setempat.

OKTOVIANUS POGAU, DI SUARA PAPUA

KONFLIK PAPUA, PEMERINTAH KEDEPANKAN DIALOG PEMBANGUNAN

Konflik Papua, Pemerintah Kedepankan Dialog Pembangunan

Konflik Papua, Pemerintah Kedepankan Dialog Pembangunan
Ilustrasi Dialog Jakarta-Papua
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edy Purdijanto di kantor Presiden Jakarta Kamis (4/12/2014) memastikan, pemerintahan Jokowi-JK tetap menjalankan politik Dialog Jakarta - Papua dalam penyelesaian masalah keamanan di Papua, selain penegakan hukum.


Seperti yang dilansir dari voaindonesia.com, Menkopolhukam juga menekankan, masalah konflik bersenjata di Papua lebih pada permasalahan ekonomi semata. Untuk itu, pemerintah akan memfokuskan pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua.

"Masalah Papua itu kan masalah ketidakadilan. Akar masalahnya adalah pembangunan. Tetapi dengan nanti Presiden Jokowi akan memfokuskan pembangunan di wilayah timur, diharapkan nanti sedikit demi sedikit itu (kelompok sipil bersenjata) nanti akan berkurang," ungkap Tedjo.

Menkopolhukam menyebut kekuatan militer dari kelompok sipil bersenjata yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia tidaklah besar.

"Sebetulnya sih tidak besar ya kekuatan mereka. Cuma ya itu mereka mengganggu-ganggu seperti itu. Kalau jaman penjajahan dulu kan kita jelas tahu mana musuh kita, tapi kalau ini kan ngga jelas."

"Kadang kita lihat ada orang ngangkut pisang, ternyata separatis, kita kan ga tau juga," imbuh Tedjo.

Penggagas Dialog Jakarta-Papua, Pater Neles Tebai, dalam seminar sehari bedah buku “Angkat Pena Demi Dialog Jakarta-Papua” di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada (20/06/2012) lalu, secara tegas mengatakan bahwa dialog Jakarta-Papua menjadi sesuatu yang sangat serius.

Tebai menekankan, persoalan Papua bukan saja persoalan pembangunan, tetapi apa yang menjadi masalah yang dihadapi orang Papua, diantaranya adalah masalah sejarah orang Papua yang dimanipulasi oleh Indonesia, masalah pendidikan, masalah kesejahteraan dan masalah Freeport yang sampai saat ini tidak pernah terselesaikan.

Oleh Maikel Kudiai......di Suara Papua!!

Jumat, 05 Desember 2014

BMP: TIKAM WARGA SIPIL SUKU KAMORO DI TIMIKA-PAPUA

BMP: TIKAM WARGA SIPIL SUKU KAMORO DI TIMIKA


TIMIKA—Warga sipil ditikam oleh kelompok Barisan Merah Putih (BMP) di lokasi Pasar lama Timika,  Korban atas nama Robbi Matamoa  suku Kamoro ditikam hingga tewas ditempat, kejadian terjadi pada hari sabtu (22/112014) kemarin.

kejadian tersebut,  berawal pada jam 11:00 malam, Robbi dari  jalan Cenderawasih keluar tujuan ke Bosnya  atas nama Haris  di Gorong-gorong untuk minta uang tagian pemancingan Ikan.

Namun dalam perjalanan Korbang dihadang oleh sekelompok orang yang  diduga kelompok Barisan Merah Putih. kiri-kira Pukul 13.00 malam. Ditemukan Jenasah Korban dengan tiga tusukan  benda tajam di seluruh badan korban penuh dengan darah, oleh pihak kepolisian setempat.

“Keluarga Korban Kabar tersebut didengar dari setelah mayat jenasa tiba di RSUD Timika yang dibawah oleh pihak kepolisian”.

Pada pukul 15:00 sore  jenasa diantar dari RSUD ke keluarga Korban di jl. Cenderawasih oleh pihak kepolisian.

Hal tersebut masyarakat sekitar kampung cenderawasih tidak terima dan palang jalan dengan tuntutan  pelaku harus tanggung jawab peti mayat  selama tiga hari atau 100 hari  dan tuntutan uang kepala nanti seelah tiga malam.

Setelah itu pertemuan di Polsek hari selasa kemarin pelaku tidak ungkap oleh pihak kepolisian  pada hal hasil otopsi sudah jelas di tikam orang yang selalu ada di lokasi pasar lama dan pelaku adalah BMP,  tutur warga.

Pada hari senin selasa 24-25/11/2014, dari pihak pemerintah didampingi kapolres antar bantuan  duka berupa bama yakni, Supermi 14 karton, Air milneral gelas 8 karton, Beras 14 kg 9 karun, sumbangan dari pihak pemerintah dan polisi ini untuk menutupi pelaku karena polisi  gagal mengungkap pelaku.

Sumber: Knpbnews-timika

PELAKU PENIKAMAN MAHASISWA PAPUA DIDUGA OKNUM POLISI MAKASAR

Pelaku Penikaman Mahasiswa Papua Diduga Oknum Polisi (Foto: Andi Aisyah/Okezone)

MAKASSAR - Anggota Forum Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat Papua (FSMPRP), Viktor Mirin, mengatakan bahwa Charles Enumbi yang sebelumnya dikabarkan tewas ditikam warga ternyata diinformasikan diduga tewas ditikam oknum polisi saat terjadi bentrok di Jalan Mappala, Kecamatan Rappocini, Makassar.
"Kepada Wembi Murib dan Meki Telegan yang membawanya ke rumah sakit, Charles bilang dua kali dia tidak ditikam warga. Yang menikam adalah polisi. Ciri-cirinya badan besar, pakai kaus putih dan berjaket hitam," ujar Viktor kepada Okezone, Kamis (4/12/2014).
Viktor menjelaskan hal itu karena banyak kesimpangsiuran narasumber dan pemberitaan di media, yakni Charles tewas ditikam warga.
"Yang jelas penikaman bukan oleh warga tapi polisi yang datang ke depan asrama setelah asrama diserang puluhan orang tak dikenal," jelas Viktor.
Dalam kesempatan yang sama, anggota FSMPRP lainnya, Erisen Tabuni, mengaku berada di lokasi saat terjadi penyerangan. Erisen pun menjelaskan kronologi kejadiannya.
Menurutnya, pada 19 November, sekira pukul 02.30 Wita, empat orang berboncengan dua sepeda motor tampak mengintai Asrama Papua Mappala. Mereka memarkir motornya sebentar, lalu melemparkan batu ke kaca jendela. Usai melempar, mereka naik motor dan kabur.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 23 November, sekira pukul 01.15 Wita, dengan berboncengan sepeda motor jenis matik, dua orang kembali datang ke depan asrama mereka dan melempar batu lagi ke kaca jendela. Akibatnya, dua kaca pecah dan hancur.
"Setelah melempar, mereka kabur. Lima menit kemudian ada lagi tiga orang yang datang berboncengan satu motor dari belakang asrama. Mahasiswa papua sempat tangkap tiga orang ini," tutur Erisen.
Kejadian ini memicu gerakan massa dari belakang asrama. Massa datang membawa alat-alat seperti batu, balok, busur, dan berbagai senjata tajam lain, sehingga memicu bentrok antara mahasiswa dari asrama dengan massa yang menyerang. Secara bergelombang, massa datang dari berbagai arah.
"Saling serang terjadi sekira sejam. Polisi dari Polsek Rappocini datang bubarkan warga. Polisi tembakkan senjata tiga kali ke udara. Satu kawan kami dipanggil keluar asrama yaitu almarhum Charles, " kata Erisen.
Erisen menambahkan, Charles diajak polisi sekira 10 meter depan asrama. Ada enam polisi mengelilinginya dan di tengah kerumunan polisi itulah Charles ditikam.
"Charles kena tikam dari arah tangan kiri ke perut sebelah kiri saat menjelaskan kepada polisi kronologi kejadian. Itu terjadi sekira 02.30 Wita. Tahu dirinya ditikam, Charles gunakan bahasa Papua berteriak meminta bantuan. Kawan-kawan di asrama kaget dan bergegas keluar. Charles sudah berlumuran darah," ujar Erisen.
Menurutnya, saat Charles ditikam, polisi hanya diam tak melakukan apa pun. Korban langsung tak sadarkan diri yang selanjutnya ditolong oleh rekan Charles lainnya yang bernama Wembi dan Meki yang mengangkatnya lalu dibawa ke Rumah Sakit Faisal Makassar yang berjarak sekira 1 kilometer.
"Dalam perjalanan ke rumah sakit dan saat di UGD itulah almarhum Charles berbisik kepada Wembi dan Meki, jika yang menikam dirinya adalah salah seorang polisi yang mengelilinya," ujarnya menirukan ucapan dua rekannya yaitu Meki dan Wembi.
Kini pihak FSMPRP sudah meminta bantuan LBH Makassar untuk mengusut kasus tersebut. Pihak LBH berjanji mempelajari kasusnya dulu.
"Kasusnya akan kami pelajari dulu, jika memang ada pelanggaran, kami siap membantu," ucap Ketua LBH Makassar Abdul Azis
Sebelumnya, asrama mahasiswa Papua yang terletak di Jalan Mappala, Kecamatan Rappocini, diserang sejumlah orang tak dikenal 23 November. Akibatnya, satu penghuni bernama Carles Sihumbi terkena tikaman di bagian perut dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Faisal untuk mendapat perawatan medis.

Informasi yang diperoleh, penyerangan sejumlah kelompok tak dikenal ini mengakibatkan kaca jendela bagian depan asrama yang dihuni belasan mahasiswa asal Papua pecah berantakan. (crl)
Sumber://news.okezone.com/

BUKAN MEMBANGUN KODAM DI TANAH PAPUA, TETAPI JANJINYA JOKOWI-KALLA INGIN TEGEKKAN KEADILAN DI TANAH PAPUA. MANA JANJINYA?????


Jokowi Ingin Tegakkan Keadilan di Tanah Papua

Foto: istimewa
JAYAPURA – Calon presiden (capres) nomor urut 2, Joko Widodo alias Jokowi, mengakui ada ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan yang menjalar di Papua.
Karena itu, kelak jika terpilih menjadi presiden, dirinya ingin menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di Bumi Cendrawasih tersebut.
“Papua sumber daya alamnya melimpah. Tapi jangan sampai sumber daya alam di sini dibawa ke sana. Kita harus kelola di sini, mendirikan pabrik untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pajak yang sebesar- besarnya. Peredaran uang harus di sini,” kata Jokowi ketika berkampanye di GOR Waringin, Distrik Abepura, Jayapura, Papua, Kamis (5/6).
Masih terkait penegakan keadilan, Jokowi juga mengkritisi kontrak karya sejumlah perusahaan tambang di Papua. Dia mengatakan kontrak karya harus mampu membangun Papua, bukan sebaliknya. Ketika kontrak habis, jelas dia, pemerintah harus merenegosiasinya. “Yang namanya kontrak itu tetap harus dihormati. Saya tidak menyampaikan nama perusahaan. Kalau sudah habis, harus ada renegosiasi untuk sebesar-besarnya keuntungan rakyat,” ujar capres nomor urut dua ini. Jokowi juga mencermati anggaran otonomi khusus (otsus) Papua.
Menurut dia, masih ada celah kebocoran yang rawan praktik korupsi. Jokowi berpendapat dana otsus belum mampu membangkitkan Papua sebagai salah satu provinsi termiskin. “Manajemen pengawasannya perlu ditingkatkan lagi agar tidak ada kebocoran,” ujarnya. Saat ditanya apakah dana otsus perlu dinaikkan lagi? Dia menjawab, “Kalau memang secara kemanfaatan itu kelihatan dan masyarakat mengatakan sudah merasakan, ya kita tambah,” kata Jokowi.
Joko Widodo datang ke Papua ditemani langsung Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputeri, Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dan sejumlah anggota tim sukses, sedangkan pendampingnya, Jusuf Kalla, mengawali kampanye di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Setiba di Tanah Papua, Jokowi dielukan ribuan warga, begitu juga saat mengunjungi beberapa pasar dan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Trikora, Waena, masyarakat berebut untuk menyalami mantan Wali Kota Solo ini Kedatangan Jokowi, Megawati, dan rombongan di Pasar Baru Prahara Sentani berlangsung meriah.
Begitu Jokowi dan rombongan tiba, lautan massa yang sudah menanti, menyerbu agar bisa bersalaman dan berfoto bersama sang capres yang tampil dengan baju kotakkotaknya, baju yang dipakai saat Pilgub DKI Jakarta 2012. Tiga orang pemuda Papua, yang badannya dibaluri sari pinang dan membawa tombak, menarikan tarian selamat datang di hadapan Jokowi. Setelah itu, terjadi dialog antara Jokowi dan pedagang yang mayoritas kaum ibu. Jokowi bahkan kemudian membeli beberapa kilogram ubi yang kemudian dimasukkan ke noken, tas kerajinan khas Papua. Dia pun menenteng sendiri tas tersebut.
Saat menuju TMP Trikora, Waena, mobil Jokowi dicegat dan dihentikan warga di Jalan Holhate. Warga menari-nari di sekitar mobil itu dan seorang dari mereka meminta Jokowi turun. Gubernur DKI Jakarta nonaktif ini pun memenuhi permintaan tersebut. Di bawah pandangan ratusan orang, seorang tokoh adat memasangkan sebuah topi yang dibuat dari kulit rusa dan dihiasi bulu-bulu burung cendrawasih ke kepala Jokowi. Menurut kabar, topi seperti itu biasanya digunakan oleh kepala salah satu suku di Papua, oleh raja atau tamu kehormatan.
“Bapak sudah menginjak Kampung Harapan. Harapan kami Bapak menjadi presiden,” ujar seorang perempuan yang ikut menari-nari. Jokowi tampak gembira dan bersemangat. Dia ikut bergoyang-goyang mengikuti irama gendang para penari. Ketika ditanya, apa yang membuatnya memilih Papua sebagai lokasi pertama kampanye Pilpres 2014? Jokowi menjelaskan dia baru kemarin ke pulau kepala burung ini, tapi hari ini dia ke sini lagi. “Karena betapa pentingnya arti Papua bagi Indonesia,” imbuhnya.
Prabowo di Jatim Sementara itu pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa menghadiri deklarasikan dukungan dari ribuan ulama dan santri dari pesantren Al - Qodiriyah, Jember, Jawa Timur, Kamis malam . Sebelum melakukan deklarasi dan istigosah bersama, Prabowo dan Hatta Rajasa menggelar pertemuan dengan pimpinan pondok pesantren Al-Qodiriyah. Setelah deklarasi dan istigsah selesai, kedua pasangan capres dan cawapres ini makan bersama para santri dan petani di sebuah warung kecil di Jember. Sebelumnya, Kamis pagi.
Prabowo dan Hatta melakukan kampanye di tempat yang berbeda. Prabowo mendatangi Kota Bandung, Jawa Barat, didampingi Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Sementara Hatta memulai kampanye hari kedua ini bersama dengaan Raja Dangdut Rhoma Irama di Banten. n cit/Ant/AR-3

PERAYAAN HUT 1 DESEMBER 2014 MENJADI INSPIRASI BAGI GENERASI MASA DEPAN PAPUA, oleh Vo Nguyen Giap Mambor

PAPUA MEMBARA MERAYAKAN 1 DESEMBER 2014

Beberapa kawan minta saya memetakan (memberikan pandangan), terkait persoalan yang menimpah sekitar 76 (atau lebih) delegasi Papua Barat (dan termasuk rombongan Papua New Guinea), yang hingga kemarin "tertahan" di Distrik Gerehu, sebuah kota di pinggiran sebelah utara Port Moresby --kota Gerehu dikenal luas karena memiliki perumahan besar, dan kebanyakan dihuni warga Papua Barat. Saya menyanggupi tawaran tersebut, dan semoga pemetaan ini bisa membantu kawan2 melihat "kesulitan" diplomasi kita hari2 ini dan kedepannya, menuju cita-cita pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat;
Beberapa faktor (atau kelompok) yang menghambat keberangkatan puluhan delegasi --tokoh terkemuka di tujuh wilayah adat Papua-- ini ke Saralana, Port Villa, Vanuatu;
(1). Peran pemerintah Amerika Serikat (AS). Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Papua New Guinea (PNG) saat ini adalah Melanie Higgins. Melanie sebelumnya menjabat Sekertaris Dua Bidang Politik di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia (2009-2013), dan pindah ke PNG awal tahun 2013). Sistem di kedutaan AS (dan rata2 hampir semua kedutaan), sekertaris dua bidang politik, adalah orang ketiga setelah Dubes, dan Wakil Dubes; Melanie banyak melakukan perjalanan ke tanah Papua --saya mencatat hampir 9 kali-- dan bertemu dengan tokoh2 Papua yang hebat semacam Socratez Sofyan Yoman, Markus Haluk, Forkorus Yaboisembut, Edison Waromi, Benny Giay, Yones Douw, Anum Siregar, Alm. Salmon Yumame, Frederika Koran -termasuk dengan beberapa tokoh perempuan yang sering melakukan perjalanan ke Jakarta dan luar negeri. Saya mendengar, ia menjadi semacam harapan atau tumpuhan untuk tokoh2 Papua selama di Kedubes AS; Padahal, perempuan ini tak pernah "sedikitpun" memberikan kontribusi untuk perkembangan dan kemajuan politik dan diplomasi rakyat Papua; Kecuali, ia membantu urusan keberangkatna tokoh2 Papua saat hearing di Kongres Amerika Serikat --itupun setelah menerima surat undangan dari Eni Valeomega-- dan saat Hillary Clinton memberikan statement atas pelanggaran HAM di tanah Papua --itupun karena Kongres Rakyat Papua III yang terkenal brutal dan jahat; ITU SAJA kontribusi dia untuk orang dan tanah Papua! Sedangkan apa yang kita (tokoh2 Papua) berikan untuk dia; Informasi sekecil apapun di Papua, termasuk pergerakan dan diplomasi Papua Merdeka, pelanggaran HAM, dan termasuk pergerakan tokoh2 terkemuka di tanah Papua yang "harus didekati" selalu sampai ke telinga orang ini dari tokoh Papua, yang akan dikaji secara serius dan mendalam bersama asisten pribadi dia yang bernama Anggie; Dan hinga saat ini Anggie masih terus melakukan kontak dengan tokoh2 Papua setelah jabatan Melanie digantikan oleh James Feldmayer (mantan komandan AD yang memimpin pasukan AS invasi ke Irak).
Apa hubungan Melanie dengan delegasi Papua yang tertahan;
(+). Anda tahu, Melanie mampu mampu, dan sangat baik memetakan "kekutaan" politik rakyat Papua Barat, termasuk diplomasi di luar negeri, secara khusus di kawasan Pasifik dan "mendiskusikannya" dengan pemerintah Indonesia untuk menjadi sebuah strategi atau kebijakan dalam meredam diplomasi Papua Merdeka; Peter O'Neil, sangat dekat dengan Indonesia, dan bahkan Amerika Serikat, karena peran dan kerja Melanie yang sangat gesit; Michae Somare yang diannggap anti AS disingkirkan, dan Peter O'Neil yang punya pengalaman dan studi di AS dianggap orang yang tepat untuk "menghambat" diplomasi Papua Merdeka; AS ikut bermain "mengganti" Somare ditengah jalan, karena Somare dianggap anti AS, dan dukungan Papua Merdeka.
(++). Anda tahu, Melanie mampu dan dengan sangat baik memetakan "diplomasi" Papua di wilayah pasifik, termasuk PNG, untuk djadikan sebuah bahan atau kajian, yang akan ditelaah oleh AS, dan PNG, untuk menghambat diplomasi Papua Barat di wilayah AS, juga di Australia, dan negara2 kawasan pasifik; Jangan salah, kegagalgan Papua di dalam keanggotaan MSG turut dimainkan secara cantik oleh Melanie; Frans Albert Yoku, Nick Messet, dan Michael Manufandu adalah boneka yang disettir oleh Melanie;
(+++). Anda tahu, hingga saat ini dia masih melakukan komunikasi dan kontak secara intensif dengan tokoh2 Papua, walau sudah menjadi Wakil Dubes AS; Seorang tokoh gereja yang saya hormati, dengan bangganya pernah bercerita pada saya, bahwa Melanie sangat rutin mengirimkan informasi soal kegiataan di PNG, dan ia juga selalu rutin memberikan infornasi soal situasi politik dan HAM di Papua; Ini ada apa, dan untuk apa? Dan apakah tokoh gereja ini tidak sadar, ia menjadi "informan" untuk pemerintah AS?
(++++). Anda tahu, Peter O'neil akan dianggap penghianat, atau "menampar" AS dari depan, jika bisa memberangkatkan rombongan Papua Barat ke Port Villa dengan pesawat milik PNG. Seorang kawan beritahu saya, Dubes AS untuk PNG, Walter Noth, dan Melanie berulang kali melakukan pertemuaan dengan Menlu PNG, Rumbink Pato, dan Peter O'Neil. Sangat rapi orang2 ini bermain!
(2). Peran Pemerintah Indonesia. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Repulik Indonesia untuk PNG, Andreas Sitepu (walau sudah hampir 4 tahun) tak tahu apa2, dan tak mengerti apa2 soal diplomasi Papua Merdeka di kawasan pasifik. Dan ia tak begitu dekat dengan tokoh2 Papua Merdeka di PNG yang terkanal ekstrem dan radikal. Dua orang yang punya pengaruh penting di Kedubes RI untuk PNG justru Robertus Suryonohadi dan Kolonel (TNI) Ignasius Wahyu Hadi. Robertus menjabat sebagai Sekeraris Dua bidang politik dan Wahyu menjabat sebagai kepala atase keamanan di Kedubes RI untuk PNG. Dua orang ini pemuluk katolik tulen; Punya pengalaman panjang di organisasi yang namanya Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan memiliki banyak kawan2 intelektual katolik, termasuk jaringan gereja katolik yang selama ini mampu memetakan persoalan Papua dengan sangat baik, termasuk untuk mematahkan diplomasi2 di wilayah pasifik. Robertus mendekatkan diri dengan tokoh2 politik Papua di Jakarta, dan luar negeri, termasuk di Roma, sedangkan, Wahyu mendekatkan diri dengan tokoh2 Papua dari kalangan militer yang katolik di Papua, dan termasuk di PNG, untuk kebutuhan analisis bidang keamanan, termasuk membangun hubungan baik dengan militer Indonesia di wilayah perbatasan yang sering memberikan kajiaan informasi terkait tokoh2 Papua Merdeka di Jayapura, dan sekitarnya;
Apa hubungan kedua orang ini dengan delegasi Papua di Port Moresby;
(+). Saya meliha dua orang ini (sekarang, atau setelah semua tokoh bertemu di Port Moresby) tahu siapa saja tokoh2 Papua yang menyebrang, atau sudah sampai di Port Moresby; Mereka tahu demi kepentingan "data dan kajian" untuk Indonesia kedepannya; Saya juga cukup heran, sekitar 70 orang lebih menyebrang dengan gampangx, atau tak terdeteksi oleh aparat keamanan Indonesia?
(++). Dua orang ini akan melakukan sebuah kajiaan tentang pergearkan Papua Merdeka, termasuk "mendata" nama2 tokkoh2 Papua yang menyebrang, dan dijadikan bahan untuk "melakukan" pemantauaan, untuk kepentingan hari ini, dan dimassa mendatang,
(+++). Dua orang ini berpikir, kapanlah bertemu dengan 70an tokoh Papua yang "mati" merdeka, artinya mereka sudah datang serahkan diri, tentu sudah baik untuk diterima, dan selanjutnya dihambat semua pergerakan tersebut di Port MORESBY, dan untuk kedepannya;
(++++). Dan kedua orang ini berperang penting dalam "menggagakan" keberangktan delegasi Papua dengan Nugini Air, dengan ancaman, bantuan pemerintah Indonesia untuk O'Neil dan rakyat PNG akan dihentikan, dan dua orang ini berperang penting dalam pertemuaan O'neil dengan Jokowi setelah beberapa jam Presiden RI kurus ini dilantik.
(3). Peran pemerintah PNG; Walau tidak signifikan, tapi ada. Seorang kawan saya di PNG yang cukup dekat dengan sekertaris pribadi Menteri Pertahanan PNG (Dr Fabian Pok), yang memberitahukan saya, O'Neil tulus ingin membantu, bahkan sampai ingin meminjamkan jet pribadi negara untuk membawa rombongan ke PNG, tapi apa boleh buat, sudah "ada" intervensi" yang cukup besar dari AS dan Indonesia untuk membatalkan rencana tersebut, dengan "tawaran2" yang saya sebutkan diatas, diantaranya akan buat "ekonomi dan politik" PNG tidak stabil. Termasuk, yang lebih gilax "O'Neil" diancam untuk diturunkan ditengah jalan, alias sebelum sampai 2017; Apalagi, kelompok Michael Somare, mantan Perdana Menteri dianggap masih berambisi duduki posisi Perdana Menteri. Saya pribadi yakin, hati kecil O'Neil ingin tulus membantu; Artinya;
(+). Secara pemerintahan PNG berjalan dengan efektir, namun dari segi ekonomi politik, termasuk sistem pemerintahan dikuasai oleh AS dan Indonesia;
(++). Pelajaran ini tentu harus dilihat baik2 oleh tokoh2 Papua Merdeka, bahwa suatu kelak pemebebasan nasional itu tercapai, kita tak boleh didikte siapapun, termasuk AS, atau Indonesia; Harus berdiri diatas kaki sendiri, seperti TImor Leste yang no hutang, dan justru mampu mempidanakan Australia di Mahkamah Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda.
(+++). O'Neil tentu ingin dan akan memintaa maaf ke Papua, tapi tidak secara terbuka, dia merasa "bagian" dari "Brother Melanesia" atau saudara Melanesia.
(+++). Saya tidak melihat PNG membatasi delegasi Papua ke Port Villa, apalagi mampu menampung, dan bahkan berikan sedikit "wang" untuk delegasi, dan memberikan "tumpangan" di kota Port Moresby; Walau banyak orang mengatakan O'neil anti Papua Merdeka, saya tidak berpikir seperti itu, Gubernur Port Moresby pasti tahu O'Neil.;

(4). Peran orang Papua sendiri; Saya akan membagi dalam dua kelompok,
(+). Orang Papua pro-Indonesia. Disini, yang kita kenal, dan dianggap berperan dalam menghambat diplomasi Papua Merdeka adalah Nick Messet, Alber Yoku, dan Michael Manufandu; Tapi ada kelompok lain, istilah Benny Giay dan Socretez "Garis Keras", mereka ini justru yang paling, dan berperan aktif; Anda tahu, kenapa Joel Rohrohmana (pernah calonkan diri jadi Bupati FakFa tapi kalah), dua tahun lalu ditugaskan menjadi Kepala Konjen Indonesia untuk Kuba. Orang ini dipakai Indonesia agar "Orang Papua" tak membangun hubungan, atau relasi dengan Kuba, dan bahkan negara-negara kiri. Indonesia lebih dulu ingin menyampaikan ke negara-negara komunis, bahwa di Indonesia ada orang Papua (ras melanesia), sebelum diplomat2 Papua menyentuh negara2 ini; Sekarang, Joel Rohrohmana bertugas di Kedutaan Besar RI untuk Afrika Selatan; Lagi-lagi ini strategi untuk mematahkan diplomasi Papua di negara-negara kulit hitam. Apakah ada orang Papua yang mengamati dengan baik, atau memetakan "strategi" sperti ini, sejauh ini saya tidak melihatnya; Dan saya tak tahu dimana lagi Felix Wanggai, tapi adik atau kk perempuan dia, Suzana Wanggai di Indonesia yang menjadi kepala perbatasan juga turut berperan aktif untuk menggagalkan delegasi Papua yang akan ke Port Villa. Dua orang yang saya sebutkan ini semacam "guru" untuk Kementerian Luar Negeri Indonesia terkait persoalan, dan diplomasi2 Papua Merdeka. Kalau tiga manusia karbitan yang saya sebutkan diatas, tentu kalian sudah tahu, dan saya tak perlu jelaskan lagi --dan mereka hanya jadi objek, jadi tempelen dimedia-media, yang tentu bikin konflik devide et impera semakin mulus dan beralan.
(++). Tokoh2 Papua Merdeka sendiri; Hal pertama, apakah sebuah diplomasi yang elegan, sebuah pertemuaan akbar, yang tentu dan akan punya dampak politik yang besar, dihumbarkan di media massa secara luas; Saya membaca di Radio New Zealand, dan AFP sangat rutin memberitakan pertemuaan ini; Disisi lain, informasi penting, tapi bukankah bukan sebuah hal yang paling substansial; Perlu tingkat internal organisasi2 perjuangan yang diinformasikan secara matang dan efekti; Artinya, pertemuaan ini hanya dibicarakan di internal-internal perjuangan; Dan maaf kata, adalah tindakan bodoh, semua foto, video, dan rekaman dihumbar di media massa, dan jadi bahan bacaan umum. Anda coba mengunjungi Youtube, dan melihat sekitar enam empat video yang di upload oleh salah satu tokoh Papu Merdeka, Sebby Sambom, secara detil vidoe saat pawai di Port Villa, 1 Desember, saat pembukaan atau upacaya penyambutan, dan bahkan saat pidato PM Joe Natuman di unggah untuk jadi tontontan intelijen Indonesia; Apakah ini bentuk2 diplomasi orang2 Papua yang elegan, dan merupakan sebuah kemajuaan; Saya katakan tidak, justru pertontonkan kebodohan dalam diplomasi; Coba lihat saja, pertemuaan Kaledonia Baru dalam KTT MSG, tak banyak vidoe dan tak banyak foto yang dipublikasikan, namun kita "kalah", artinya, bukan berarti besok kita kalah lagi, tapi belajar untuk berdiplomasi yang cerdas dan terdidik itu penting; Hal kedua, apakah bukan sesuatu yang tidak elegan, dan terlihat bodoh, pertemuaan akan dilangsungkan pada 1 Desember, namun para delegasi2 dari Papua Barat baru ke Port Moresy tiga hari, atau dua hari sebelum kegiatan dilangsungkan; Jarak dari PNG ke Vanuatu itu 1.940 KM, bukan seperti dari Wasior ke Manokari, atau dari Demta ke Sentani; Pikir logis, soal transportasi, soal kemudahan, seharusnya satu minggu, atau dua minggu sebelum simposium dilangsungkan, delegasi sudah harus berada di Port Moresby, agar dapat memudahkan semuanya, termasuk sedikit mengurang kesulitan2 yang sudah terlihat di depan mata, dan baru saja kita alami saat ini.
====================================================
Setelah melihat pemetaan diatas, saya ingin memberikan catatan2 saya pada tiap2 point; Agar kedepan, diplomasi kita menuju pembebasan nasional bangsa Papua Barat bisa lebih elegan, bermartabat, dan dapat dianggap sebuah kemajuaan perjuangan; Catatan ini hanya sekedar kajian untuk menambah wawasan kawan2; Sa sebenarnya masih ingin lanjut tulis, tapi sepertix sa harus koma dulu, angin laut bagus, cakalang su maronta diluat, sa harus pigi melaut; Ipar2 dong tunggu catatan bagiaan kedua eh;;

TabeA, 


Waondivoi, 5 Desember 2014, 11.49 Wit 
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Ket foto: Generasi Papua Barat di Kota Dekai, Yahukimo, Papua, ikut merayakan 1 Desember dengan perlihatkan bendera negara mereka.

KNPB ASK GOVERNOR "RELEASE GARUDA" FROM GOVERNMENT INDONESIA IN PAPUA

PEOPLE`S VOICE

KNPB Ask the Governor "Release Garuda"


Not yet a month Jokowi Leadership, Program Expansion and Transmigration in Papua will be launched with the support of military force. Papua is certainly being on the verge of collapse. Autonomy which has paralyzed government would not be able to stop it. Jokowi supporter euphoria that "craze in Papua, whether consciously or not, will come to reap the suffering or destruction of Papua.
Right from the start we sounded with confidence through boycott the presidential election campaign in West Papua that anyone regime, destroy the people of Papua and Papua mastered a "grand design Indonesian colonialism in West Papua. There will not be a force, both politically and Indonesian law, which will stop it.
Therefore, the Papuans who became Indonesian colonial officials, the governor, MRP, DPRP and so do not need to sing in the jungle to reject the program of Jakarta. No need to look for the Papuan national pride in the colonial powers. You must still accept your position as a "slave" and "puppet" of colonialism on the territory of West Papua.
For too many experiences of suffering in the Indonesian colonial ruler, has also been very clear threat of destruction of Papua in sight, which should make the Papuan people realize that there will never be hope of improvement of Papua in Indonesia's colonial rulers.
If you want to keep pace with and or in the system and policies koloniallisme, you are wrong. Very very wrong. And the spectacle that is not interesting. It was embarrassing and heartbreaking. It makes Papua into the rubble that was worth remembering in this world civilization.
The solution, Papua Merdeka Must. Save Papuan people should start from the premise that Indonesia is the invaders (colonial) and Papua are colonies (colony). Save Papuan people should start from the belief that with Indonesia Papua destroyed, and will survive without Indonesian Papua Papua ie stand alone as a country. And, save Papua should dimatrialkan in real resistance.


We Must End


Port Numbay, 3 November 2014
Victor F. Yeimo
Chairman

OPINI: PRESIDEN JOKOWI-KALLA ADALAH HARAPAN UNTUK PAPUA?

Jokowi: hope for Papua?










JokowiPapua-480One of Jokowi’s ‘trademarks’, dialogue, offers the best chance of giving disaffected Papua what it needs and wants, writes Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge.

During his presidential campaign, Joko Widodo, widely known as “Jokowi,” visited the Indonesia’s most eastern province, Papua, three times.
He made one key promise to Papuans—giving it more attention.

This attention includes promoting welfare instead of security , building more infrastructure, and providing more access to education and medical services. All of these seem relatively similar to former president Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY) promises when he came to office in 2004.

Whether Jokowi’s government can keep his promises to the Papuan people, rest on three factors; affirmative action, welfare policy, and the military . And all of these have to factor in Jakarta’s decision-making elites. In this regard, it’s useful to look at what previous governments did in Papua.

Since the downfall of Suharto in 1998, Papua has been one of Indonesia’s three trouble spots, haunting every regime. Of the other two East Timor attained its independence in 1999, and Aceh received its special privileges under the 2005 Helsinki Agreement. Even though, the Papuan rebellion movement is categorised as a small-scale armed struggle, there is no comprehensive policy that can suppress its aspiration to detach from Indonesia.

Former presidents BJ Habibie and Abdurahman “Gus Dur” Wahid undertook affirmative action in Papua. They knew that as the Papuan people are a minority group which has been excluded and underrepresented historically, measures had to be taken to raise participation at various level of society. Habibie invited 100 Papuan representatives to hold a discussion in Jakarta in 1999 and promised to initiate an equal dialogue between Jakarta and Papua.

Yet the dialogue never happened. Gus Dur proposed more progressive measures by allowing the Papuans to hold the First Papua National Assembly in June 2000, crafting a space for Papua to reclaim its names as “Papua,” not “Irian,” and permitting the Papuan flag to be raised alongside the Indonesian flag. He also included Freddy Numberi, the first Papuan after the downfall of Suharto, to become a cabinet member. However, both presidents firmly rejected the idea of West Papuan independence.

Megawati, the daughter of Indonesia’s founding father Sukarno, amplified the military approach to Pa[ua rather than taking more comprehensive affirmative actions. She launched the Special Autonomy Law (Otsus) in 2001 as a way to uplift Papuans’ lives, yet she also issued a presidential decree (Inpres No.1/2003) to divide Papua into three new provinces, thus contradicting the spirit of the autonomy law. Moreover, Megawati’s feeblest policy allowed the military to tightening its grip over Papua, an action it had long favored. The 2001 killing of charismatic Papuan leader Theis Elluay, by the Indonesian Special Forces (Kopassus), occurred under her tenure.

Susilo Bambang Yudhoyono, who took over government in 2004 and left office in October 2014, combined affirmative action and welfare policies without thoroughly reviewing the military’s presence in Papua. During his 10-year tenure, SBY included three Papuans in his government. In 2010, he initiated the mega investment project, the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), at the expense of customary rights over land that belongs to Papuans. In 2012, he proposed an ad-hoc agency, the Unit for the Acceleration of Development in Papua and West Papua (UP4PB) which has had no impact whatsoever.

Additionally, SBY failed to review security policies that have been in place since this province was forcefully integrated into Indonesia in 1969. Human rights abuses by the military still frequently occur.. Ironically, the military reform initiated during SBY’s first term has had no impact in Papua.  Antonius Made argues that military reform failed at the domestic level, particularly in conflicted regions. Three indicators of the failure are the military deployment and its relation to the rise of human rights violations, the military involvement in local politics, and its close ties to business in Papua.

When it comes to Jokowi, many Papuans believe that he will overhaul current conditions in the province. And yet it seems his government will continue what has been done so far. Shortly after he was inaugurated, he appointed Yohana Susana Yembise, the first female Papuan minister, in an act of affirmative action. However, there is no policy yet directly addressing the Papuan issue.

There is also the question of how Jokowi will deal with development in Papua. This concern is related to the investment-oriented agenda he presented in front of business leaders at the Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) summit in China a couple of weeks ago. Whether or not there will be another project like MIFEE is still a big question.

In terms of welfare reforms, Jokowi’s government has moved forward by providing three cards; the prosperous family card, the health card, and the smart card. All of these cards are related to the welfare program he promised during the presidential campaign. However, these cards seem unlikely to deal with current conditions in Papua. The basic prerequisite of this program is infrastructure readiness and its stakeholders.  In Papua, as Bobby Anderson argues in Inside Indonesia (Jul-Sep 2013), it is about not only hospitals or schools, but also who will be serving as a doctor, nurse, or teacher. In this regard, the central government has to review all welfare programs in Papua before promoting other programs.

Another crucial policy that will be launching in coming months is the transmigration policy. The new transmigration minister, Marwan Jafar, proposed a transmigration program for people from outside islands, primarily from Java, to go to Papua. Shortly after the announcement, many Papuans raised their concerns and firmly rejected the policy. This concern is highly understandable.

According to the Justice and Peace Secretariat of the Jayapura Bishopic Mission huge numbers of people transmigrating has negatively affected the indigenous population by subordinating Papuans in cultural, political, and economic spheres.  This shift in population leads to never-ending conflicts between the settlers from the outside islands and the indigenous people.

Furthermore, the transmigration policy will exaggerate the current Papuan demographic structure and also the relation between the central government and Papuans.  The decline of the indigenous population is obvious. According to Anderson (quoted in The Jakarta Globe), migrants from other islands now compose almost half the population of Papua province. In addition, while the ratio of indigenous people and non-indigenous people, was 52-48 in 2010, Anderson predicts there may be 60 migrants to every 40 Papuans in 2014.

In the security arena, there will not be any significant change under Jokowi, particularly the huge number of military troops in Papua. This tendency can be seen by the appointment of one of the most controversial and conservative generals, Ryamizard Ryacudu, as the Indonesian defense minister. Papuans still remember him as a general who praised as heroes the Kopassuss soldiers who killed Theys Elluay.

In addition, Jokowi has appointed Andhika Perkasa as commander of the presidential security detail. According to the Jakarta Post, Andhika was allegedly involved in the killing of Theis Elluay when he was a Koppasus officer back in 2002. Other former generals with bad human rights records, such as Hendropriyono, Wiranto, and Sutiyoso also have been in Jokowi’s inner circle. All of these figures will maintain the military conservative value of defending the unity of the country by wiping out all rebellion groups, even at the expense of civilians–as it has over the years.

All the policies and actions proposed so far clearly describe the ‘elitist’, Jakarta-centric way of thinking on the Papuan issue.  For example, Marfan Jafar is a former politician from the National Awakening Party (PKB) that has supported Jokowi. As a politician without sufficient background on the Papuan issue, Jafar clearly has been initiating an ill-constructed policy.  He thinks by sending many migrants to Papua, the problem of poverty in some densely populated islands, will partly be handled without looking at the real condition of the Papuan people.

Accordingly, one can argue that Jokowi lacks ministers who can absorb his vision deeply. Because he has to compromise with those elites, oligarchs, and former generals, he has to sacrifice the people’s hope. This is an irony of democracy. Jokowi has been elected constitutionally, but he cannot fully exercise his right to govern because he has to deal with those shadowy figures, which have no constitution rights whatsoever.

Beyond these challenges, Jokowi has to execute a long-awaited dialogue with the Papuans. This is the prominent solution to deal with all problems in Papua. Consultations are the only way to know deeply and thoroughly what Papuans need. In turn, the central government can form policy that positively affects Papuans. The Papua Peace Network (JDP) formed by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) has been conducting preliminary consultations that can be used as a gateway to create a more intensive and comprehensive dialogue with the Papuans.

A network of various political actors in Papua has been set up through the consultations.It would be constructive if the central government gradually held discussions with various actors, such as local activists, student activists, religious figures, armed groups, and particularly those who are living and struggling for Papuan independence from abroad.

Dialogue was one of Jokowi’s “trademarks” (beside the impromptu visit), when he was mayor of Solo, and governor of Jakarta. This is a real opportunity for Jokowi to execute the dialogue with the Papuan people. By supporting consultation with the people, the government can send a strong signal about building trust and eliminating suspicions regarding Papua.

Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge, is an Arryman Scholar and a visiting scholar at the Buffet Center for International and Comparative Studies (BCICS), Northwestern University.        

TANGANI KONFLIK PAPUA, PEMERINTAH TETAP KEDEPANKAN DIALOG

Tangani Konflik Papua, Pemerintah Tetap Kedepankan Dialog


Jumat, 05 Desember 2014

Salah satu prioritas dari agenda kerja pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla adalah penuntasan masalah gangguan keamanan di Papua.JAKARTA— Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edy Purdijanto di kantor Presiden
ED7473BB-1CBD-4B12-A092-96FA23450A9D w640 r1 sMenkopolhukam Tedjo Edy Purdijanto  (foto: VOA/Andylala).Jakarta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edy Purdijanto di kantor Presiden Jakarta Kamis (4/12)  memastikan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla tetap menjalankan politik dialog Jakarta – Papua dalam penyelesaian masalah keamanan di Papua, selain penegakan hukum. "Tetap kita kedepankan itu. Dan pendekatan (melalui dialog Jakarta – Papua) itu lebih intens dilakukan, dan hasilnya sudah ada yang kembali.
Jadi mereka yang ada di hutan itu yang tidak tahu informasi itu yang masih berlama-lama di hutan. Mereka bisa diajak komunikasi kok. Banyak yang sudah kembali. Apalagi kita banyak anggaran ke Papua," paparnya.
Menkopolhukam menekankan, masalah konflik bersenjata di Papua lebih pada pemasalahan ekonomi semata. Untuk itu pemerintah akan memfokuskan pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua."Masalah Papua itu kan masalah ketidakadilan. Akar masalahnya adalah pembangunan. Tetapi dengan nanti Presiden Jokowi akan memfokuskan pembangunan di wilayah timur, diharapkan nanti sedikit demi sedikit itu (kelompok sipil bersenjata) nanti akan berkurang," ungkap Tedjo.
Menkopolhukam menambahkan, kekuatan militer dari kelompok sipil bersenjata yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia tidaklah besar."Sebetulnya sih tidak besar ya kekuatan mereka. Cuma ya itu mereka mengganggu-ganggu seperti itu. Kalau jaman penjajahan dulu kan kita jelas tahu mana musuh kita, tapi kalau ini kan ga jelas. Kadang kita lihat ada orang ngangkut pisang, ternyata separatis, kita kan ga tau juga," imbuhnya.
Peredaran Senjata Api di Papua MengkhawatirkanSementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman memastikan, peredaran senjata api di Papua sudah sangat mengkhawatirkan."Peredaran senjata (api) di Papua cukup besar. Dan ada senjata kita yang direbut oleh kelompok-kelompok sipil bersenjata. Ini menjadi tugas kita untuk terus memburu dan melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang membawa senjata api," tuturnya.

Kapolri menambahkan, Polri akan bekerja sama dengan pihak terkait guna menangkap para pelaku penembakan ini.Kapolri mengatakan, "Kita akan kerjasama dengan pihak terkait untuk memburu itu. Dan pelan-pelan beberapa diantaranya sudah ada yang kita lakukan penegakan hukum."
Pada Rabu (3/12) 2 anggota Brimob Polda di di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua tewas ditembak kelompok sipil bersenjata. Para anggota Brimob ini ditembak saat membantu persiapan perayaan Natal yang digelar oleh Pemda serta warga setempat.

SIARAN PERS IMPARSIAL: PORTES KERAS DAN PENOLAKAN ATAS RENCANA JOKOWI MEMBANGUN KODAM BARU DI PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT

SIARAN PERS IMPARSIAL: PROTES KERAS DAN PENOLAKAN ATAS RENCANA PRESIDEN JOKOWI MEMBANGUN KODAM BARU DI PAPUA/PAPUA BARAT




Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 28 November 2014 menyatakan akan melakukan penambahan dan penataan organisasi TNI, diantaranya adalah dengan membentuk Kodam baru, antara lain di Papua dan Menado. 

Imparsial memandang rencana Presiden Jokowi untuk membentuk Kodam baru adalah rencana yang keliru.

Reformasi TNI mewajibkan perubahan struktur, kultur dan kebijakan TNI agar TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Dengan adanya rencana pembentukan kembali komando teritorial berarti Presiden Jokowi mencederai reformasi TNI. Hal ini juga menjadi isyarat bahwa TNI akan dikembalikan lagi perannya seperti peran TNI di masa Orde Baru. Imparsial menolak pengembangan komando teritorial dan mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti keberadaan struktur teritorial di Indonesia.

Rencana Presiden Jokowi membentuk Kodam baru juga bertentangan dengan cita-citanya sendiri untuk membawa Indonesia menuju kejayaan maritim, karena dengan penambahan Kodam baru berarti Jokowi tetap memfokuskan postur pertahanan pada matra darat. Selain itu, dengan adanya rencana pembentukan Kodam baru, berarti Jokowi juga akan memboroskan penggunaan uang negara dan bertentangan dengan kebijakan Minimum Essential Force (MEF) yang selama ini digunakan TNI.

Berdasarkan hasil penelitian Imparsial tentang Reformasi TNI di Papua dan Papua Barat, telah terjadi dominasi TNI di Papua dan Papua Barat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah TNI, dengan estimasi saat penelitian ini dibuat pada tahun 2012 sebagai berikut: TNI AD12.000-13.000 prajurit, TNI AL 1.272 prajurit, TNI AU 570 prajurit.  Sehingga jumlah total seluruh pasukan TNI di Papua dan Papua Barat diperkirakan sebanyak  14.842 prajurit.

Jika dibandingkan dengan Aceh dalam situasi Darurat Militer pada 2003, jumlah pasukan TNI sebanyak 33.703. Sementara Papua dan Papua Barat saat ini tidak berada dalam status Darurat Militer maupun Sipil,  tetapi memiliki jumlah pasukan setengah dari jumlah pasukan yang digelar dalam situasi Darurat Militer di Aceh pada 2003.  Artinya, situasi dan status di Papua dan Papua Barat hampir sebangun dengan kekuatan pasukan TNI menjelang penetapan status Darurat Militer di Aceh.

Perhitungan tersebut dapat ditafsirkan bahwa konsentrasi pasukan TNI di Papua dan Papua Barat saat ini berlebihan, dan menunjukkan bahwa warga sipil di Papua dan Papua Barat potensial untuk diidentifikasi sebagai bagian dari gerakan separatis bersenjata, apalagi jika Presiden Jokowi merealisasikan rencananya membangun Kodam baru di Papua/Papua Barat.

Imparsial melihat bahwa Presiden Jokowi masih berpandangan sama dengan pendahulunya yang cenderung menilai akar konflik Papua dan Papua Barat utamanya adalah persoalan separatisme, sehingga pendekatan penyelesaiannya mengedepankan pelibatan militer melalui operasi militer (sekuritisasi). Berlanjutnya pendekatan keamanan adalah cermin pemaksaan kehendak pusat terhadap Papua dan Papua Barat. Akar konflik Papua dan Papua Barat yang kompleks disederhanakan dan hanya dilihat sebagai masalah separatisme. Pemerintah Pusat  masih tetap dan lebih menekankan pada paradigma keamanan negara (keamanan teritorial). Sementara keamanan warga yang menekankan dimensi HAM diabaikan.

Persoalan yang muncul akibat kecenderungan penekanan pada paradigma keamanan yang menekankan dimensi kewilayahan dan militer adalah munculnya wajah kebijakan keamanan yang represif di Papua dan berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat.

Jika Presiden Jokowi dalam kampanye sebelum pilpres di Papua menjanjikan akan menangani masalah Papua dengan hati, sehingga mampu meraup dukungan dari masyarakat Papua sebesar 72,49% dan 67,63% di Papua Barat, maka rencana Jokowi untuk membangun Kodam baru telah nyata-nyata merupakan bentuk pengingkaran dari janji Jokowi dan dipastikan akan semakin melukai hati Rakyat Papua dan Papua Barat.

Oleh karena itu, Imparsial menyatakan protes keras dan menolak rencana Presiden Jokowi untuk membangun Kodam baru di Papua/Papua Barat. Imparsial mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana pembangunan Kodam baru dan lebih mengutamakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua/Papua Barat.

Jakarta, 5 Desember 2014

Poengky Indarti, S.H., LL.M
Direktur Eksekutif.

ATIS RAMBO WENDA: INDONESIA POLICE ARREST, STRIP, TORTUR, AND PARADE A PEACEFUL WEST PAPUA LEADER BEFORE JAILING HIM

Indonesian police arrest, strip. torture and parade a peaceful West Papuan leader before jailing him

This man is Atis Wenda, a peaceful activist in West Papua (a country which is under illegal Indonesian occupation, just 250km North of Australia.
Atis was a member of the peaceful civil movement, the West Papua National Committee [KNPB] which is struggling for independence from Indonesia.
The Human Rights organisation, Papuans Behind Bars reports that "On 4 April 2013, at around 18:30 Papuan time, Atis Rambo Wenda was attacked by an unidentified man in Waena, Jayapura, causing him to faint. Waena police had arrived at the scene and brought both the assailant and Wenda to the Waena police station. The assailant was released from police custody 30 minutes later, but Wenda continued to be detained. When Wenda questioned the police decision to continue to detain him, police allegedly responded with brutality and tortured him. He was reportedly stabbed in the ears and hand with a bayonet and his legs were beaten with wooden planks. He was allegedly denied medical treatment for the injuries he sustained.
A report received from a local human rights investigator stated that throughout the interrogation process Wenda was denied access to legal counsel. He was charged under Article 170 of the Indonesian Criminal Code and was not accompanied by a lawyer during his trial. He was sentenced to 10 months’ imprisonment. The same report stated that Wenda had allegedly been targeted due to his frequent activity with the KNPB in organising peaceful demonstrations from 2010 to 2012. Wenda had also reportedly declined medical treatment in Abepura prison as he is fearful of potential abuse that he may suffer at the hands of the authorities, similar to the brutal treatment he previously endured in detention in Waena."
Atis has been released from prison but his life remains in danger as do the lives of all West Papuans under a brutal Indonesian occupation which has resulted in genocide with the deaths of over 500,000 Melanesian West Papuans. (about a third of the indigenous population).
Please help the West Papuan people in their struggle for self-determination and independence. Please visit www.freewestpapua.org for more information about West Papua and http://freewestpapua.org/take-action/ to find out how you can help.
Please help the West Papuan people in their struggle against oppression, racism and genocide before it is too late.
Thank you very much
Much of the information in his post was taken from www.papuansbehindbars.org

EKSPLOITASI SUMBER DAYA DI PAPUA DENGAN PEDEKATAN DARI ATAS KE BAWAH 1989-2010


Eksploitasi sumber daya di Papua dengan pendekatan dari atas ke bawah 1989-2010

Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan
dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari
22 tahun terakhir. Angka dalam kurung
mengacu pada edisi terbitan berkala terkait.
Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan
indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua
dalam beberapa dekade terakhir.

1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan
untuk mulai mengimpor kayu serpih dari
daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai
bagian dari proyek bersama PT Bintuni
Utama Murni yang mencakup kegiatan
pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar.Tak
ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih
dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang
protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh
JATAN dan FoE Jepang (6).

Scott Paper melanjutkan rencana
pembukaan perkebunan dan proyek bubur
kayu di Merauke setelah mendapat
persetujuan pemerintah pada bulan Oktober
1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh
sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga
dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan
akhirnya menarik diri dari proyek tersebut
(6).

Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy
tengah menjajaki kerja sama patungan dengan
PT Furuma Utama Timber Co, untuk
mengembangkan proyek kertas dan bubur
kayu di Papua (6).


Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas
melakukan studi kelayakan untuk pabrik
pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT
Sagindo Sari Lestari telah membangun
pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4)

Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH
dilaporkan telah menghentikan kegiatan
penebangan mereka (1). Perusahaan Australia
McLean Ltd berencana untuk melakukan
penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000
hektare di daerah Mamberamo melalui kerja
sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut
Mamberamo Forest Products (5).

BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk
membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan
dukungan finansial dari Queensland Nickel
Joint Venture, Australia (3).

Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang
Freeport dengan peningkatan produksi
emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton
menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan
produksi konsentrat tembaga dari 25.000
ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport
merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil
meraup keuntungan terbesar yang pernah
dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan
telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius
dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5).

Perusahaan patungan penebangan hutan
Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari
(anak perusahaan You One Construction)
dan PT Kebun Sari telah menghancurkan
penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat
Jayapura (6).


1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang,
Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di
Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni
Wood Industries yang didukung oleh
Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik
tanah suku Iraturu menuntut royalti dari
perusahaan, sementara kampanye terhadap
keterlibatan Marubeni dalam perusakan
hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10).
Perusahaan itu diperintahkan untuk
menghentikan kegiatannya dan didenda oleh
Menteri Kehutanan karena pembalakan liar
(11).

Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco
akan melakukan pengeboran sumur minyak
yang konon terbesar di Papua di daerah
Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi
hasil dengan perusahaan minyak negara
Pertamina (8).

Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu
yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari
melalui kegiatannya di Teluk Bintuni.
Perusahaan itu mengumumkan rencana
untuk mendatangkan 200 keluarga
transmigran untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja. (9).

Freeport melakukan negosiasi untuk
memperluas kawasan kontrak menjadi 20
kali lebih besar dari luas awalnya. (10).
Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa
77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9
juta hektare dan mengatakan bahwa 70%
dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare
telah dialokasikan untuk berbagai jenis
eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan
waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan,
pertambangan dan minyak) (10).

PT Yapen Utama Timber siap
menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen
dan penghidupan masyarakat di pulau itu
(10).

Pemerintah memberikan lampu hijau kepada
19 pabrik bubur kayu baru, empat di
antaranya berada di Papua (11).

2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk
proyek Tangguh dicermati lebih dekat
seiring dengan akan beroperasinya proyek
gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida
akan dilepaskan per tahun, menurut
dokumen AMDAL (80-81).

Freeport mengakui bahwa perusahaan itu
masih membayar militer Indonesia (80-81).
Adanya penembakan-penembakan yang
mengakibatkan korban tewas di dekat
pertambangan memicu organisasi masyarakat
sipil setempat untuk menyerukan dialog
damai guna menyelesaikan konflik di Papua.
Warga Amungme selaku pemilik tanah
mengajukan gugatan baru terhadap Freeport
dan menuntut ganti rugi sebesar US$30
miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan
pelanggaran HAM (82).

Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi
pertambangan Australia mencari kandungan
tembaga dan emas besar di Papua, yaitu
Hillgrove Resources di distrik Sorong dan
Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu
Austindo Resources Corporation) di Teluk
Bintuni, melalui perusahaan bernama PT
Alam Papua Nusantara, dan Nickelore
Ltd, di daerah yang berbatasan dengan
konsesi Freeport (82).

Pemerintah Provinsi Papua mengumumkan
rencana untuk membangun waduk
pembangkit listrik tenaga air di Komauto
untuk memasok listrik, mendukung proyek
semen di Timika serta pembangunan
pariwisata di Paniai (83).


2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas
250.000 hektare untuk perkebunan tanaman
industri dan tanaman rakyat pada tahun
2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare
dalam skala nasional. Hutan yang baru
merupakan bagian dari strategi pemerintah
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
(84).

Penebangan liar dianggap sebagai penyebab
banjir bandang di distrik Wasior yang
menelan banyak korban. (87).

Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan
modal dalam pertambangan batu bara di 5
daerah di distrik Manokwari (87).Timika and
support tourism development in Paniai (83).

Artikel selengkapnya dapat dilihat di: