INDONESIA NERAKA BAGI ORANG ASLI PAPUA
Integritas bangsa dan alam Papua dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) selalu dinyatakan sebagai baik adanya. Keberadaannya mencerminkan Surga dunia. Alam Papua sebagai Surga dunia sudah tentu bahwa di dalamnya tidak ada yang namanya penderitaan, kekerasan, kelaparan, kemiskinan dan pembunuhan. Tanah surga hanya ada kedamaian, hidup berkelimpahan dan kemuliaan. Di dalam Tanah Surga inilah Allah senantiasa merajai. Karena Allah-lah yang telah menciptakan segala realitas termasuk bangsa Papua…. Bangsa Papua itu adalah kulit hitam, rambut kriting, ras melanesia, dan punya Tanah Papua ini dalam bingkai NKRI. Ia telah ditempatkan Allah di bumi Cendrawasih Papua yang adalah surga dunia ini. Allah menugasi mereka sebagai sang penguasa, pengolah dan pelindung atas segenap realitasnya. Ia dianugrahi oleh Allah dengan kuasa dasyat untuk menguasai Tanah Papua seturut kehendak-Nya, karena ia adalah manusia sejati, berbudi luhur dan punya hati. Karena itu, ia juga adalah manusia Allah.
Karena
ia adalah manusia Allah, maka ia juga telah berada bersama Allah. sejak Allah berada,
maka bangsa, para leluhur dan Tanah Papua pun ikut berada. Jika Allah tidak berada,
maka bangsa dan Tanah Papua pun tidak berada. Bangsa dan Tanah Papua berada justru
karena beradanya Pengada/Allah. Sebaliknya Allah juga berada bersama dan dalam diri bangsa, para leluhur dan Tanah Papua
sebagai ciptaan-Nya. Sehingga di mana beradanya Allah tentu di situlah kerajaan
surga berada. Dan di mana ada kerajaan surga, maka di situ ada Allah. Karena
itu, jika kita hendak berusaha melihat Allah yang tak terlihat, maka lihatlah
bangsa, para leluhur dan Tanah Papua. Sebab mereka selalu ada dalam sebuah komunitas
yang absolut dan tak terpisahkan. Mereka berada dalam suatu ikatan hubungan keharmonisan
yang utuh dan lengkap.
Adanya
ikatan hubungan keharmonisan antara bangsa, para leluhur, tanah Papua dan Allah
telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan bangsa Papua. Keberadaan mereka selalu
dinyatakan dengan nilai-nilai universal dan fundamental yakni saling mencinta,
mengasihi dan bermartabat antara satu sama lain sebagai manusia sejati.
Kenyataan hidup ini terus dihayati mereka dengan tujuan utama yakni
mempertahankan statusnya sebagai bangsa yang diciptakan dan dipilih oleh sang
Pengada dalam kerajaan-Nya di Negeri ini.
Demi mempertahankan tujuan di atas ini,
mereka hidup bersama-sama sebagai manusia yamg bermulti-sosial. Kebersamaanya
dinyata melalui relasi yang substasia dan universal baik antara sesama manusia
sebagai satu bangsa, alam Papua, para leluhur maupun dengan sang Pengada secara
terus-menerus. Namun, sayangnya hubungan itu telah rusak total akibat perbuatan
Negara Republik Indonesia. Hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam Papua, para leluhur dan hubungannya dengan Allah telah menjadi
merosot dan putus dengan tanpa ada bekasnya. Bangsa Papua terpenjara dalam
dosa. Ia selalu hidup dalam kegeliasahan, kekerasan dan pembunuhan yang
substansial. Kenyataan bangsa dan alam Papua yang demikian memberikan harapan untuk kembali kepada “Papua Baru” yang telah
hilang dalam dirinya. Ia selalu rindu untuk kembali ke dunia asalnya, tetapi
tetap terpuruk, tiada dan berada dalam substansi kegelapan duniawi ini.
Pertanyaan mendasar adalah kenapa hubungan mereka itu putus total dan ingin
untuk kembali ke dunia asali?
Ketidaksejahteraan hidup
anrata rakyat Papua
Sejak bangsa Papua Barat diintegrasikan
oleh NKRI, maka rakyat Papua tidak pernah mengalami semercik kebahagiaan.
Bangsa Papua dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek dasar
di Negerinya sendiri. Keanekaragaman hayati dan non hayati yang berada diperut
bumi Papua seperti tembaga, nikel dan emas serta kayu, ikan dan minyak telah dikeruk,
dirampas dan diambil oleh para penguasa. Semua kekayaan alam itu diambil hanya demi
kepentingan para penjajah yang tinggal di Luar.
Salah satu contoh konkret
ketidaksejahteraan yang sedang gencar di Negeri ini adalah minimnya upah kaum
buruh di PT Freeport Tembagapura. Para adikuasa menjadikan para buruh sebagai
“mesin” yang terus diputar secara rutin. Sementara upah yang didapat oleh para
buruh hanya 1% saja. Padahal manusia dalam diriny itu terkandung keluhuran
martabat sebagai anak-anak Allah yang baik adanya. Karena mereka diciptakan oleh
Allah yang baik adaya. Maka upah dari kaum buruh mesti diberikan secara
manusiawi demi menciptakan kesejahteraan bersama. Kesehatan jasmani dan rohani
mesti dijamin selayak-selayaknya oleh perusahaan demi kebaikan bersama (bonum comune). Jika para penguasa tidak
memperhatikan hak mereka, sejauh itulah kesejahteraan para buruh tidak akan
terwujud. Kesejahteraan bersama yang merupakan tujuan utama mesti dibangun oleh
perusahan dan para Negara yang terkait demi kesejahteraan bersama.
Selain kasus di atas, illegal loging di Arso Kabupaten Kerom,
Pembukaan MIFEE di Kabupaten Merauke juga terus berjalan hangat. Papua sungguh
diwarnai dengan Investasi yang tidak beradat. Semua kekayaan rakya Papua hanya
dimanfaatkan demi kepentingan para elit yang tinggal di Luar. Mereka hanya merasa
bahwa di satu sisi sumber daya alam habis, tetapi di sisi lain mobilisasi kaum
imigran tak terbendung di Negeri ini. Mereka sungguh sangat dilemantis bagaikan
seekor berudu di tengah-tengah batu. Akibatnya mereka mengalami kehilangan
hak-hak dasar, nilai-nilai budaya dan kehilangan tanah-tanah adat di Negerinya
sendiri. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan
keterpurukkan.
Ketidakdamaian hidup antara
rakyat kecil
Kurang lebih selama 50 tahun bangsa
Papua hidup dalam bingkai NKRI. Selama itu pula bangsa Papua merasa tidak
diperlakukan sebagai warga Indonesia. Makna “bhineka tunggal ika” (unity ini
Deversity) nampaknya masih terus absen bagi bangsa Papua dalam sepanjang
sejarahnya. Kekerasan, konflik dan perang serta pembunuhan menjadi panenan
rutinitas bagi bangsa Papua dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Padahal bangsa Papua
adalah sedarah dari NKRI. NKRI juga mengakui terus akan integritas bangsa Papua
sebagai sedarahnya sendiri melalui menakanis hukum yang legal. Namun
realisasinya tidak demikian.
Salah satu ketidakdamaian konkret yang
dialami bangsa Papua adalah insiden kekerasan TNI/Polri pasca KRP III rabu
19/10/2011 di Lapangan Zakeus Abepura Papua. Ketika itu, mereka diseret,
dipenjara dan dibunuh oleh TNI/Polri secara brutal. Warga sipil yang koban
adalah 7 orang. Akibatnya relasi antara sesama, dengan alam Papua, para Leluhur
dan relasi dengan Allah menjadi putus total. Bangsa Papua mengalami kehilangan
integritasnya dalam bingkai NKRI.
Ketidakadilan dalam
pembangun Papua
Dalam
era Otonomi Khusus bangsa Papua selalu diperlakukan sebagai warga kelas II.
Segala kebijakan pemitah Indonesia baik pusat maupun daerah tidak melibatkan
rakyat Papua. Rakyat Papua belum pernah diberi ruang dan waktu untuk menjadi
tuan di Negerinya sendiri. Padahal
substansi UU No 21 tentang Otonomi Khusus (Otsus) diberikan oleh
pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua
demi meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak dasar dan
melestarikan nilai-nilai budaya dan pelindungan hak hidup bagi bangsa Papua.
Namun, mereka tidak melaksanakan substansi dari amanat Otsus secara konsisten
dan menyeluruh. Empat substansi amanat Otsus ini hanya selalu dinikmati oleh
oknum-oknum tertentu demi kepentingan instan dan sesaat. Akibat mereka
mengalami kehilangan integritas sebagai bangsa Papua. Tanah adat, nilai-nilai
budaya, segala sumberdaya alam yang hilang total dari Negerinya Negeri. Mereka
masih hidup tanpa arah dan tujuan jelas.
Dialog konstruktif
sebagai jalan utama penuntasan konflik di Papua
Dalam situasi yang demikian, dibutuhkan
dialog konstruktif antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia. Dialog ini
sangat penting karena tanpa dialog kontruksif kekerasan tidak jarang terjadi di
Republik ini. Dialog kontruktif ini bukan dilakukan dengan kekerasan seperti
yang terjadi selama ini, melainkan dengan didasarkan atas nilai-nilai universal
yakni, cintai kasih, kedamaian, keadilan dan demokratis serta bermartabat. Atas
dasar nilai-nilai yang inspiratif dan universal ini memungkinkan proses dialog
konstruktif antara rakayat Papua dan Pemerintah Indonesia dengan melibatkan pihak
ketiga sebagai mediator. Dengan demikian, rayak Papua dan pemerintah Indonesia
bersama pihak ketiga dapat menuntaskan
segala konflik Papua demi menciptakan alam Papua sebagai Tanah damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar