Jumat, 05 Desember 2014

INDONESIA NERAKA BAGI ORANG ASLI PAPUA

INDONESIA NERAKA BAGI ORANG ASLI PAPUA

           

Integritas bangsa dan alam Papua dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) selalu dinyatakan sebagai baik adanya. Keberadaannya mencerminkan Surga dunia. Alam Papua sebagai Surga dunia sudah tentu bahwa di dalamnya tidak ada yang namanya penderitaan, kekerasan, kelaparan, kemiskinan dan  pembunuhan. Tanah surga hanya ada kedamaian, hidup berkelimpahan dan kemuliaan. Di dalam Tanah Surga inilah Allah senantiasa merajai. Karena Allah-lah yang telah menciptakan segala  realitas termasuk bangsa Papua…. Bangsa Papua itu adalah kulit hitam, rambut kriting, ras melanesia, dan punya Tanah Papua ini dalam bingkai NKRI. Ia telah ditempatkan Allah di bumi Cendrawasih Papua yang adalah surga dunia ini. Allah menugasi mereka sebagai sang penguasa, pengolah dan pelindung atas segenap realitasnya. Ia dianugrahi oleh Allah dengan kuasa dasyat untuk menguasai Tanah Papua seturut kehendak-Nya, karena ia adalah manusia sejati, berbudi luhur dan punya hati. Karena itu, ia juga adalah manusia Allah.
            Karena ia adalah manusia Allah, maka ia juga telah berada bersama Allah. sejak Allah berada, maka bangsa, para leluhur dan Tanah Papua pun ikut berada. Jika Allah tidak berada, maka bangsa dan Tanah Papua pun tidak berada. Bangsa dan Tanah Papua berada justru karena beradanya Pengada/Allah. Sebaliknya Allah  juga berada bersama dan dalam  diri bangsa, para leluhur dan Tanah Papua sebagai ciptaan-Nya. Sehingga di mana beradanya Allah tentu di situlah kerajaan surga berada. Dan di mana ada kerajaan surga, maka di situ ada Allah. Karena itu, jika kita hendak berusaha melihat Allah yang tak terlihat, maka lihatlah bangsa, para leluhur dan Tanah Papua. Sebab mereka selalu ada dalam sebuah komunitas yang absolut dan tak terpisahkan. Mereka berada dalam suatu ikatan hubungan keharmonisan yang utuh dan lengkap.
            Adanya ikatan hubungan keharmonisan antara bangsa, para leluhur, tanah Papua dan Allah telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan bangsa Papua. Keberadaan mereka selalu dinyatakan dengan nilai-nilai universal dan fundamental yakni saling mencinta, mengasihi dan bermartabat antara satu sama lain sebagai manusia sejati. Kenyataan hidup ini terus dihayati mereka dengan tujuan utama yakni mempertahankan statusnya sebagai bangsa yang diciptakan dan dipilih oleh sang Pengada dalam kerajaan-Nya di Negeri ini.
Demi mempertahankan tujuan di atas ini, mereka hidup bersama-sama sebagai manusia yamg bermulti-sosial. Kebersamaanya dinyata melalui relasi yang substasia dan universal baik antara sesama manusia sebagai satu bangsa, alam Papua, para leluhur maupun dengan sang Pengada secara terus-menerus. Namun, sayangnya hubungan itu telah rusak total akibat perbuatan Negara Republik Indonesia. Hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam Papua, para leluhur dan hubungannya dengan Allah telah menjadi merosot dan putus dengan tanpa ada bekasnya. Bangsa Papua terpenjara dalam dosa. Ia selalu hidup dalam kegeliasahan, kekerasan dan pembunuhan yang substansial. Kenyataan bangsa dan alam Papua yang demikian memberikan harapan  untuk kembali kepada “Papua Baru” yang telah hilang dalam dirinya. Ia selalu rindu untuk kembali ke dunia asalnya, tetapi tetap terpuruk, tiada dan berada dalam substansi kegelapan duniawi ini. Pertanyaan mendasar adalah kenapa hubungan mereka itu putus total dan ingin untuk kembali ke dunia asali?

Ketidaksejahteraan hidup anrata rakyat Papua
Sejak bangsa Papua Barat diintegrasikan oleh NKRI, maka rakyat Papua tidak pernah mengalami semercik kebahagiaan. Bangsa Papua dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek dasar di Negerinya sendiri. Keanekaragaman hayati dan non hayati yang berada diperut bumi Papua seperti tembaga, nikel dan emas serta kayu, ikan dan minyak telah dikeruk, dirampas dan diambil oleh para penguasa. Semua kekayaan alam itu diambil hanya demi kepentingan para penjajah yang tinggal di Luar.
Salah satu contoh konkret ketidaksejahteraan yang sedang gencar di Negeri ini adalah minimnya upah kaum buruh di PT Freeport Tembagapura. Para adikuasa menjadikan para buruh sebagai “mesin” yang terus diputar secara rutin. Sementara upah yang didapat oleh para buruh hanya 1% saja. Padahal manusia dalam diriny itu terkandung keluhuran martabat sebagai anak-anak Allah yang baik adanya. Karena mereka diciptakan oleh Allah yang baik adaya. Maka upah dari kaum buruh mesti diberikan secara manusiawi demi menciptakan kesejahteraan bersama. Kesehatan jasmani dan rohani mesti dijamin selayak-selayaknya oleh perusahaan demi kebaikan bersama (bonum comune). Jika para penguasa tidak memperhatikan hak mereka, sejauh itulah kesejahteraan para buruh tidak akan terwujud. Kesejahteraan bersama yang merupakan tujuan utama mesti dibangun oleh perusahan dan para Negara yang terkait demi kesejahteraan bersama.
Selain kasus di atas, illegal loging di Arso Kabupaten Kerom, Pembukaan MIFEE di Kabupaten Merauke juga terus berjalan hangat. Papua sungguh diwarnai dengan Investasi yang tidak beradat. Semua kekayaan rakya Papua hanya dimanfaatkan demi kepentingan para elit yang tinggal di Luar. Mereka hanya merasa bahwa di satu sisi sumber daya alam habis, tetapi di sisi lain mobilisasi kaum imigran tak terbendung di Negeri ini. Mereka sungguh sangat dilemantis bagaikan seekor berudu di tengah-tengah batu. Akibatnya mereka mengalami kehilangan hak-hak dasar, nilai-nilai budaya dan kehilangan tanah-tanah adat di Negerinya sendiri. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan.

 Ketidakdamaian hidup antara rakyat kecil
Kurang lebih selama 50 tahun bangsa Papua hidup dalam bingkai NKRI. Selama itu pula bangsa Papua merasa tidak diperlakukan sebagai warga Indonesia. Makna “bhineka tunggal ika” (unity ini Deversity) nampaknya masih terus absen bagi bangsa Papua dalam sepanjang sejarahnya. Kekerasan, konflik dan perang serta pembunuhan menjadi panenan rutinitas bagi bangsa Papua dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Padahal bangsa Papua adalah sedarah dari NKRI. NKRI juga mengakui terus akan integritas bangsa Papua sebagai sedarahnya sendiri melalui menakanis hukum yang legal. Namun realisasinya tidak demikian.
Salah satu ketidakdamaian konkret yang dialami bangsa Papua adalah insiden kekerasan TNI/Polri pasca KRP III rabu 19/10/2011 di Lapangan Zakeus Abepura Papua. Ketika itu, mereka diseret, dipenjara dan dibunuh oleh TNI/Polri secara brutal. Warga sipil yang koban adalah 7 orang. Akibatnya relasi antara sesama, dengan alam Papua, para Leluhur dan relasi dengan Allah menjadi putus total. Bangsa Papua mengalami kehilangan integritasnya dalam bingkai NKRI.

Ketidakadilan dalam pembangun Papua
            Dalam era Otonomi Khusus bangsa Papua selalu diperlakukan sebagai warga kelas II. Segala kebijakan pemitah Indonesia baik pusat maupun daerah tidak melibatkan rakyat Papua. Rakyat Papua belum pernah diberi ruang dan waktu untuk menjadi tuan di Negerinya sendiri. Padahal  substansi UU No 21 tentang Otonomi Khusus (Otsus) diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua  demi meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak dasar dan melestarikan nilai-nilai budaya dan pelindungan hak hidup bagi bangsa Papua. Namun, mereka tidak melaksanakan substansi dari amanat Otsus secara konsisten dan menyeluruh. Empat substansi amanat Otsus ini hanya selalu dinikmati oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan instan dan sesaat. Akibat mereka mengalami kehilangan integritas sebagai bangsa Papua. Tanah adat, nilai-nilai budaya, segala sumberdaya alam yang hilang total dari Negerinya Negeri. Mereka masih hidup tanpa arah dan tujuan jelas.

Dialog konstruktif sebagai jalan utama penuntasan konflik di Papua
Dalam situasi yang demikian, dibutuhkan dialog konstruktif antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia. Dialog ini sangat penting karena tanpa dialog kontruksif kekerasan tidak jarang terjadi di Republik ini. Dialog kontruktif ini bukan dilakukan dengan kekerasan seperti yang terjadi selama ini, melainkan dengan didasarkan atas nilai-nilai universal yakni, cintai kasih, kedamaian, keadilan dan demokratis serta bermartabat. Atas dasar nilai-nilai yang inspiratif dan universal ini memungkinkan proses dialog konstruktif antara rakayat Papua dan Pemerintah Indonesia dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Dengan demikian, rayak Papua dan pemerintah Indonesia bersama pihak ketiga dapat   menuntaskan segala konflik Papua demi menciptakan alam Papua sebagai Tanah damai.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar