Jumat, 05 Desember 2014

SIARAN PERS IMPARSIAL: PORTES KERAS DAN PENOLAKAN ATAS RENCANA JOKOWI MEMBANGUN KODAM BARU DI PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT

SIARAN PERS IMPARSIAL: PROTES KERAS DAN PENOLAKAN ATAS RENCANA PRESIDEN JOKOWI MEMBANGUN KODAM BARU DI PAPUA/PAPUA BARAT




Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 28 November 2014 menyatakan akan melakukan penambahan dan penataan organisasi TNI, diantaranya adalah dengan membentuk Kodam baru, antara lain di Papua dan Menado. 

Imparsial memandang rencana Presiden Jokowi untuk membentuk Kodam baru adalah rencana yang keliru.

Reformasi TNI mewajibkan perubahan struktur, kultur dan kebijakan TNI agar TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Dengan adanya rencana pembentukan kembali komando teritorial berarti Presiden Jokowi mencederai reformasi TNI. Hal ini juga menjadi isyarat bahwa TNI akan dikembalikan lagi perannya seperti peran TNI di masa Orde Baru. Imparsial menolak pengembangan komando teritorial dan mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti keberadaan struktur teritorial di Indonesia.

Rencana Presiden Jokowi membentuk Kodam baru juga bertentangan dengan cita-citanya sendiri untuk membawa Indonesia menuju kejayaan maritim, karena dengan penambahan Kodam baru berarti Jokowi tetap memfokuskan postur pertahanan pada matra darat. Selain itu, dengan adanya rencana pembentukan Kodam baru, berarti Jokowi juga akan memboroskan penggunaan uang negara dan bertentangan dengan kebijakan Minimum Essential Force (MEF) yang selama ini digunakan TNI.

Berdasarkan hasil penelitian Imparsial tentang Reformasi TNI di Papua dan Papua Barat, telah terjadi dominasi TNI di Papua dan Papua Barat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah TNI, dengan estimasi saat penelitian ini dibuat pada tahun 2012 sebagai berikut: TNI AD12.000-13.000 prajurit, TNI AL 1.272 prajurit, TNI AU 570 prajurit.  Sehingga jumlah total seluruh pasukan TNI di Papua dan Papua Barat diperkirakan sebanyak  14.842 prajurit.

Jika dibandingkan dengan Aceh dalam situasi Darurat Militer pada 2003, jumlah pasukan TNI sebanyak 33.703. Sementara Papua dan Papua Barat saat ini tidak berada dalam status Darurat Militer maupun Sipil,  tetapi memiliki jumlah pasukan setengah dari jumlah pasukan yang digelar dalam situasi Darurat Militer di Aceh pada 2003.  Artinya, situasi dan status di Papua dan Papua Barat hampir sebangun dengan kekuatan pasukan TNI menjelang penetapan status Darurat Militer di Aceh.

Perhitungan tersebut dapat ditafsirkan bahwa konsentrasi pasukan TNI di Papua dan Papua Barat saat ini berlebihan, dan menunjukkan bahwa warga sipil di Papua dan Papua Barat potensial untuk diidentifikasi sebagai bagian dari gerakan separatis bersenjata, apalagi jika Presiden Jokowi merealisasikan rencananya membangun Kodam baru di Papua/Papua Barat.

Imparsial melihat bahwa Presiden Jokowi masih berpandangan sama dengan pendahulunya yang cenderung menilai akar konflik Papua dan Papua Barat utamanya adalah persoalan separatisme, sehingga pendekatan penyelesaiannya mengedepankan pelibatan militer melalui operasi militer (sekuritisasi). Berlanjutnya pendekatan keamanan adalah cermin pemaksaan kehendak pusat terhadap Papua dan Papua Barat. Akar konflik Papua dan Papua Barat yang kompleks disederhanakan dan hanya dilihat sebagai masalah separatisme. Pemerintah Pusat  masih tetap dan lebih menekankan pada paradigma keamanan negara (keamanan teritorial). Sementara keamanan warga yang menekankan dimensi HAM diabaikan.

Persoalan yang muncul akibat kecenderungan penekanan pada paradigma keamanan yang menekankan dimensi kewilayahan dan militer adalah munculnya wajah kebijakan keamanan yang represif di Papua dan berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat.

Jika Presiden Jokowi dalam kampanye sebelum pilpres di Papua menjanjikan akan menangani masalah Papua dengan hati, sehingga mampu meraup dukungan dari masyarakat Papua sebesar 72,49% dan 67,63% di Papua Barat, maka rencana Jokowi untuk membangun Kodam baru telah nyata-nyata merupakan bentuk pengingkaran dari janji Jokowi dan dipastikan akan semakin melukai hati Rakyat Papua dan Papua Barat.

Oleh karena itu, Imparsial menyatakan protes keras dan menolak rencana Presiden Jokowi untuk membangun Kodam baru di Papua/Papua Barat. Imparsial mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana pembangunan Kodam baru dan lebih mengutamakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua/Papua Barat.

Jakarta, 5 Desember 2014

Poengky Indarti, S.H., LL.M
Direktur Eksekutif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar